Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh
Segala puji bagi Allah atas segala limpahan karuniah-Nya kapada kita
semua, serta shalawat dan salam untuk Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Insyaallah dengan pertolongan Allah subhanahu wa
ta’aalaa kajian Ramadhan kali ini kita akan membahas penjelasan singkat kitab
Ash-Shaum dari Sahih Al-Bukhariy.
Semoga Allah Yang Maha Pemurah menerima segala amal kebaikan yang kita
lakukan, Amiin!
Pembahasan pertama:
Sahih Al-Bukhariy adalah buku yang
disusun oleh Imam Al-Bukhariy Muhammad bin Isma’il, Abu Abdullah (w.256H) rahimahullah.
Di dalamnya terkumpul beberapa hadits shahih yang beliau riwayatkan dengan
sanadnya dari Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam.
Judul asli kitab ini adalah:
الجامع المسند الصحيح
المختصر من أمور رسول الله صلى الله عليه وسلم وسننه وأيامه
“Kumpulan hadits musnad (sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah)
yang sahih secara ringkas dari hal-hal yang berkaitan dengan Rasulullah shallallahu
‘alahii wa sallam, sunnah-sunnahnya dan kehidupan sehari-harinya”
Ulama sepakat bahwa Kitab Sahih
Bukhariy adalah buku yang paling benar setelah Al-Qur’an Al-Karim, semua
haditsnya sahih kecuali beberapa diataranya yang mendapat keritikan dari
beberapa ulama terdahulu maupun kontemporer.
Imam Bukhari menyusun bukunya
dengan menempatkan setiap hadits yang memiliki pembahasan sama dalam satu kitab,
kemudian dalam setiap kitab dibagi menjadi beberapa bab.
Diantaranya adalah: Kitab tentang puasa.
Di dalamnya terbadap beberapa bab (enam puluh lebih) yang berhubungan
dengan puasa, dan dalam setiap bab Imam Bukhari meriwayatkan beberapa hadits yang
erat kaitannya dengan bab tersebut.
Imam Bukhari mendapat keritikan karena menyebutkan kitab tentang puasa
setelah penyebutan beberapa kitab yang berhubungan dengan masalah ibadah haji, padalah
yang lebih tepat adalah mendahulukan masalah puasa daripada haji karena
kewajiban puasa lebih dahulu turun (tahun 2 hijriyah) daripada kewajiban haji (ada
pentapat tahun 6, 7, 8, 9 atau 10 hijriyah), dan juga waktu pelaksanaan puasa
Ramadhan lebih dahulu daripada ibadah haji.
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma; Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
«بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسَةٍ، عَلَى أَنْ
يُوَحَّدَ اللهُ، وَإِقَامِ الصَّلَاةِ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ، وَصِيَامِ رَمَضَانَ،
وَالْحَجِّ»
“Islam dibangun atas lima dasar; Mentauhidkan
Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan ibadah haji”.
Seorang berkata: Ibadah haji dan puasa Ramadhan.
Ibnu Umar berkata: Tidak, (yang benar) puasa
Ramadhan dan ibadah haji. Seperti itu aku mendengarnya dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. [Sahih Muslim]
Pembahasan kedua:
Bab pertama dalam kitab Ash-Shaum adalah: Bab kewajiban puasa Ramadhan,
dan firman Allah ta’aalaa:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ
الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ}
[البقرة: 183]
“Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum
kamu agar kamu bertakwa”.
[Al-Baqarah: 183]
Ayat surah Al-Baqarah ini dijadikan oleh Imam Bukhari sebagai dalil
utama atas kewajiban puasa di bulan Ramadhan, sekaligus menunjukkan bahwa puasa
yang dimaksud pada ayat tesebut adalah puasa Ramadhan sebagaimana dijelaskan
pada ayat-ayat selanjutnya. Allah subhanahu wa ta’aalaa berfirman:
{شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ
هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ
الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ} [البقرة: 185]
Bulan
Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara
kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu, ...
[Al-Baqarah: 185]
Dan hadits pertama yang akan disebutkan oleh Imam Bukhari juga
menjelaskan hal tersebut.
Puasa adalah menahan diri dari hal-hal yang membatalkannya seperti
makan, minum, dan berhubungan intim suami-istri, mulai dari terbit fajar sampai
matahari tenggelam (magrib) dengan niat ibadah kepada Allah subhanahu
wata’alaata.
Puasa Ramadhan wajib bagi setiap muslim yang telah balig, berakal,
sehat, tidak sedang bepergian jauh (musafir), dan tidak sedang haid dan nifas
bagi perempuan.
Dalam bab ini Imam Bukhari rahimahullah meriwayatkan tiga hadits yang menjadi
dalil atas kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan, yang pertama adalah hadits
Thalhah bin Ubaidillah, kedua hadits Ibnu Umar, dan ketiga hadits Aisyah
rahdyallahu ‘anhum.
Pembahasan ketiga:
Hadits pertama: Hadits Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ‘anhu.
Bahwasanya seorang A'rabiy (orang Arab yang tinggal di pedalaman) datang
kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dengan kondisi rambut
yang kusut, kemudian bertanya: Wahai Rasulullah, sampaikanlah kepadaku apa saja
yang diwajibkan oleh Allah atasku dari amalan shalat?
Maka Rasulullah menjawab: Shalat lima waktu, kecuali jika engkau ingin
shalat sunnah.
(Dalam riwayat lain, Rasulullah menjawab: “Shalat lima waktu dalam
sehari-semalam”. A'rabiy bertanya: Apakah ada selain itu? Rasulullah menjawab: “Tidak
ada, kecuali shalat sunnah”)
Kemudian A'rabiy itu bertanya lagi: Sampaikanlah kepadaku apa saja yang
diwajibkan oleh Allah atasku dari amalan puasa?
Maka Rasulullah menjawab: Puasa di bulan Ramadhan, kecuali jika engkau
ingin puasa sunnah.
(Dalam riwayat lain, Rasulullah menjawab: “Puasa Ramadhan”. A'rabiy
bertanya: Apakah ada selain itu? Rasulullah menjawab: “Tidak ada kecuali puasa
sunnah”)
Kemudian A'rabiy itu bertanya lagi: Sampaikanlah kepadaku apa saja yang
diwajibkan oleh Allah atasku dari amalan zakat?
Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menyampaikan
kepadanya beberapa syari'at Islam.
A'rabiy itu kemudian berkata: Demi (Allah) Yang telah memuliakanmu, aku
tidak akan melakukan amalan sunnah sedikitpun, dan aku tidak akan mengurangi
apa yang telah diwajibkan Allah kepadaku sedikitpun.
Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Ia
beruntung jika ia jujur (kepada Allah atas perkataanya itu), atau ia akan masuk
surga jika ia jujur.
Penjelasan singkat hadits di atas:
1.
Thalhah bin Ubaidillah bin Utsman Al-Qurasyiy At-Taimiy, Abu Muhammad
Al-Madaniy (w.36H).
Beliau adalah sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, salah
seorang dari 8 sahabat yang paling pertama memeluk Islam, dan salah seorang
dari 10 yang mendapat jaminan masuk surga dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu; Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
«أَبُو بَكْرٍ فِي الجَنَّةِ، وَعُمَرُ فِي الجَنَّةِ،
وَعُثْمَانُ فِي الجَنَّةِ، وَعَلِيٌّ فِي الجَنَّةِ، وَطَلْحَةُ فِي الجَنَّةِ وَالزُّبَيْرُ
فِي الجَنَّةِ، وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ فِي الجَنَّةِ، وَسَعْدٌ فِي الجَنَّةِ،
وَسَعِيدٌ فِي الجَنَّةِ، وَأَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الجَرَّاحِ فِي الجَنَّةِ» [سنن الترمذي: صحيح]
“Abu Bakr (akan masuk) dalam surga, Umar
dalam surga, Utsman dalam surga, Ali dalam surga, Thalhah dalam surga,
Az-Zubair dalam surga, Abdurrahman bin ‘Auf dalam surga, Sa’ad (bin Abi
Waqqash) dalam surga, Sa’id (bin Zayd) dalam surga, dan Abu ‘Ubaidah bin
Al-Jarraah dalam surga”. [Sunan Tirmidziy: Sahih]
2.
Hadits ini menunjukkan kewajiban shalat lima waktu (subuh, dzhuhur,
ashar, magrib, dan Isya), dan tidak ada shalat yang wajib secara person (fardhu
‘ain) selainnya.
3.
Hadits ini menunjukkan kewajiban puasa Ramadhan, dan tidak ada puasa wajib
secara person selainnya.
4.
Melaksanakan semua kewajiban dan meninggalkan semua yang haram adalah
syarat keberuntungan di dunia dan di akhirat (masuk surga).
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu; Bahwasanya seorang
laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
أَرَأَيْتَ إِذَا صَلَّيْتُ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوبَاتِ، وَصُمْتُ رَمَضَانَ،
وَأَحْلَلْتُ الْحَلَالَ، وَحَرَّمْتُ الْحَرَامَ، وَلَمْ أَزِدْ عَلَى ذَلِكَ شَيْئًا،
أَأَدْخُلُ الْجَنَّةَ؟
Bagaimana pendapatmu, jika saya melaksanakan semua shalat wajib, aku
berpuasa Ramadhan, aku menghalalkan yang halal, mengharamkan yang haram, dan
aku tidak menambah sesuatupun selain itu, apakah aku bisa masuk surga?
Rasulullah menjawab: Iya.
Orang itu berkata: Demi Allah, aku tidak akan menambah sesuatupun selain
itu. [Sahih Muslim]
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu; Seorang A’rabiy
mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya: Tunjukanlah
kepadaku amalan jika aku amalkan maka aku akan masuk surga?
Rasulullah menjawab:
«تَعْبُدُ اللَّهَ لاَ تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا،
وَتُقِيمُ الصَّلاَةَ المَكْتُوبَةَ، وَتُؤَدِّي الزَّكَاةَ المَفْرُوضَةَ، وَتَصُومُ
رَمَضَانَ»
“Entkau menyembah Allah dan tidak
menyekutukannya dengan sesuatu pun, engkau mendirikan shalat wajib, menunaikan
zakat fardhu, dan engkau berpuasa Ramadhan”
A’rabiy itu berkata: Demi (Allah) Yang jiwaku di
tangan-Nya, aku tidak akan menambah selain ini.
Setelah orang itu berpaling, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
«مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى رَجُلٍ مِنْ
أَهْلِ الجَنَّةِ، فَلْيَنْظُرْ إِلَى هَذَا» [صحيح البخاري ومسلم]
“Barangsiapa yang senang melihat seorang dari
penduduk surga, maka lihatlah orang ini”. [Sahih Bukhari dan Muslim]
5.
Boleh tidak melakukan amalan sunnah secara keseluruhan dengan syarat
tidak meninggalkan kewajiban sedikitpun dan tidak melakukan yang haram
sedikitpun, karena amalan sunnah adalah pelengkap amalan wajib yang kurang.
Dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
" إِنَّ أَوَّلَ
مَا يُحَاسَبُ بِهِ العَبْدُ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلَاتُهُ، فَإِنْ صَلُحَتْ
فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ، وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ، فَإِنْ انْتَقَصَ
مِنْ فَرِيضَتِهِ شَيْءٌ، قَالَ الرَّبُّ عَزَّ وَجَلَّ: انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي
مِنْ تَطَوُّعٍ فَيُكَمَّلَ بِهَا مَا انْتَقَصَ مِنَ الفَرِيضَةِ، ثُمَّ يَكُونُ سَائِرُ
عَمَلِهِ عَلَى ذَلِكَ " [سنن الترمذي:
صحيح]
“Sesungguhnya yang pertama diperiksa pada seorang hamba di hari
kiamat dari amalannya adalah shalat-nya, maka jika sempurna maka beruntunglah
ia dan selamatlah ia, dan jika rusak maka celakalah ia dan rugilah ia. Kemudian
jika ada sesuatu yang kurang dari shalat wajibnya, Allah ‘azza wa jalla
berfirman: Periksalah, apakah hamba-Ku memiliki shalat sunnah. Maka
dengannya disempurnakan apa yang kurang dari shalat wajibnya. Kemudian setelah
itu amalan lain diperiksa seperti itu.” [Sunan Tirmidziy: Sahih]
Allah mencintai orang yang banyak melakukan amalan sunnah.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu; Rasulullah
sallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Allah subhanahu wata'ala berfirman
dalam sebuah hadits qudsi:
مَا تَقَرَّبَ
إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ، وَمَا
يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا
أَحْبَبْتُهُ: كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ، وَبَصَرَهُ الَّذِي
يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي
بِهَا، وَإِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ
"Tidak ada ibadah yang dipersembahkan hamba-Ku yang paling
Aku cintai dari apa yang telah Aku wajibkan kepadanya, dan tidaklah hamba-ku
senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan sunnah sampai Aku
mencintainya. Dan jika Aku mencintainya, maka Aku sebagai pendengaran yang ia
pakai mendengar, penglihatan yang ia pakai melihat, tangan yang ia pakai
memegang, dan kaki yang ia pakai berjalan, dan jika ia meminta kepada-Ku akan
Aku berikan, dan jika ia minta perlindungan dari-Ku akan Aku lindungi".
[Sahih Bukhari]
6.
Semangat seorang ‘Arabiy yang tinggal jauh dari kota Madinah untuk
menuntut ilmu agama.
Dari Abu Ad-Dardaa' radhiyallahu ‘anhu; Rasulullah sallallahu
'alaihi wasallam bersabda:
«مَنْ
سَلَكَ طَرِيقًا يَطْلُبُ فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا مِنْ طُرُقِ
الْجَنَّةِ، وَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ،
وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ، وَمَنْ فِي الْأَرْضِ،
وَالْحِيتَانُ فِي جَوْفِ الْمَاءِ، وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ، كَفَضْلِ
الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ، وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ
الْأَنْبِيَاءِ، وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا، وَلَا دِرْهَمًا
وَرَّثُوا الْعِلْمَ، فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ» [سنن أبي داود: صححه الألباني]
“Barangsiapa yang menempuh satu jalan untuk menuntut ilmu maka
Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga. Sesungguhnya para malaikat
merendahkan sayapnya karena meridhai seorang yang menuntut ilmu. Sesungguhnya
seorang ulama dimintakan ampunan untuknya oleh penghuni langit dan bumi dan
ikan di lautan. Sesungguhnya keutamaan seorang ulama terhadap seorang ahli
ibadah seperti keutamaan bulan malam purnama dibandingkan dengan bintang
lainnya. Sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi, dan sesungguhnya para
Nabi tidak mewariskan dinar atau dirham tapi mereka mewariskan ilmu, maka
barangsiapa yang mengambilnya berarti ia telah mengambil sesuatu yang sangat
besar”. [Sunan Abu Daud: Sahih]
7.
Menuntut ilmu agama dari orang yang paling ahli di bidangnya, bukan pada
sembarang orang yang tidak jelas agamanya. Sebagaimana si A’rabiy yang tidak
merasa cukup dengan hanya bertanya kepada orang disekitarnya yang sudah masuk
Islam atau kepada siapa saja yang ia ditemui di kota Madinah.
Allah subhanahu wata’aalaa berfirman:
{فَاسْأَلُوا
أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ} [النحل: 43]
"Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan
jika kamu tidak mengetahui". [An-Nahl:43]
{فَاسْأَلْ
بِهِ خَبِيرًا } [الفرقان: 59]
"Maka tanyakanlah (tentang Allah) kepada yang lebih
mengetahui tentang Dia".
[Al-Furqaan:59]
8.
Syari’at Islam itu mudah, tidak membutuhkan teori filsafat yang
membingunkan.
Dari Abu Hurairah
radhiyallahu 'anhu; Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
"
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ
" [صحيح البخاري]
“Sesungguhnya agama Islam itu mudah (jika mengikuti Al-Qur’an
dan Sunnah dengan baik), dan seseorang tidak mempersulit urusan agama (dengan sesuatu
yang tidak disyari’atkan) kecuali ia akan terkalahkan olehnya”. [Sahih Bukhari]
Pembahasan keempat:
Hadits kedua: Hadits Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma.
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berpuasa Asyuraa' dan beliau
memerintahkan untuk berpuasa pada hari itu, dan ketika diwajibkan puasa
Ramadhan maka puasa Asyuraa' ditinggalkan (tidak wajib lagi).
Dan Abdullah bin Umar setelah itu tidak mejalankan puasa Asyura' kecuali
jika bertepatan dengan puasa rutinnya.
Penjelasan singkat dari hadits di atas:
1)
Abdullah bin Umar bin Khatthab Al-Qurasyiy, Abu Abdurrahman Al-Makkiy
(w.43 atau 74H).
Beliau adalah salah satu sahabat Nabi yang paling banyak meriwayatkan
hadits, beliau di urutan kedua setalah Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
meriwayatkan sekitar 2630 hadits.
Ia juga salah satu dari empat sahabat Rasulullah yang bernama Abdullah yang
banyak memberikan fatwa. Selain dirinya ada Abdullah bin Abbas, Abdullah bin
‘Amr, dan Abdullah bin Az-Zubair radhiyallahu ‘anhum.
2)
Hadits ini menunjukkan kewajiban puasa Ramadhan, dan me-nasakh (menghapus)
kewajiban puasa ‘Asyuraa’ sebelumnya.
3)
Puasa Asyura’ adalah puasa sunnah yang dilaksanakan padah hari kesepuluh
bulan Muharram, diantara keutamaannya adalah menghapuskan dosa-dosa setahun
sebelumnya.
Dari Abu Qatadah radiyallahu 'anhu; Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda:
صِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ،
أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ [صحيح مسلم]
"Puasa di hari Asyura', aku berharap kepada Allah akan
menghapuskan dosa setahun sebelumnya". [Sahih Muslim]
Pembahasan kelima:
Hadits ketiga: Hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Bahwasanya kaum Quraisy dulunya berpuasa pada hari Asyuraa' di masa
Jahiliyah, kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
memerintahkan untuk berpuasa padah hari itu sampai diwajibkan puasa Ramadhan, maka
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang mau
maka berpuasalah di hari 'Asyura', dan barangsiapa yang mau (boleh) ia tidak
puasa"
Penjelasan singkat hadits di atas:
1- Biografi singkat Ummul Mu’minin, Aisyah binti Abi Bakr radhiyallahu ‘anha dan beberapa keistimewaanya bisa dibaca di sini: "Aisyah binti Abi Bakr dan keistimewaannya"
2- Hadits ini menunjukkan kewajiban puasa Ramadhan, dan me-nasakh
(menghapus) kewajiban puasa ‘Asyuraa’ sebelumnya.
3- Puasa ‘Asyuraa sudah ada sebelum Islam.
Ibnu Abbas radiyallahu
'anhuma berkata: Sesungguhnya ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam tiba di Madinah mendapati mereka (kaum Yahudi) berpuasa pada suatu
hari yaitu hari Asyura', mereka berkata: Ini adalah hari yang agung, hari
dimana Allah menyelamatkan Nabi Musa, dan menenggelamkan Fir'aun dan
pengikutnya, maka Nabi Musa berpuasa pada hari itu sebagai rasa syukur kepada
Allah.
Maka Rasulullah bersabda:
«أَنَا
أَوْلَى بِمُوسَى مِنْهُمْ» [صحيح البخاري ومسلم]
"Aku lebih
berhak terhadap Musa dari pada mereka!"
Maka Rasulullah pun berpuasa pada
hari itu dan memerintahkan untuk berpuasa. [Sahih Bukhari dan Muslim]
Abu Musa radiyallahu
'anhu berkata: Dulu penduduk Khaerbar (dari kaum Yahudi) berpuasa pada hari
Asyura', mereka menjadikannya hari raya, wanita-wanita mereka memakai pakaian
yang cantik dan perhiasan. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda kepada sahabatnya:
«فَصُومُوهُ
أَنْتُمْ» [صحيح البخاري ومسلم]
"Berpuasalah
kalian di hari Asyura'!" [Sahih Bukhari dan Muslim]
NB: Di akhir kitab Ash-Shaum,
Imam Bukhariy rahimahullah mengkhususkan satu bab tentang puasa ‘Asyuraa’.
Pembahasan keenam:
Hadits lain yang menunjukkan
kewajiban puasa Ramadhan, diantaranya:
Dari Abu Hurairah radiyallahu 'anhu; Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam
bersabda:
«أَتَاكُمْ
رَمَضَانُ شَهْرٌ مُبَارَكٌ فَرَضَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ، تُفْتَحُ
فِيهِ أَبْوَابُ السَّمَاءِ، وَتُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ، وَتُغَلُّ فِيهِ
مَرَدَةُ الشَّيَاطِينِ، لِلَّهِ فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ، مَنْ حُرِمَ
خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ» [سنن النسائي: صحيح]
“Telah datang kepada kalian
bulan Ramadhan, bulan penuh berkah (mubarak), Allah 'azza wajalla
mewajibkan atas kalian untuk berpuasa pada bulan itu, dibuka pada bulan itu pintu-pintu
langit, ditutup pintu-pintu neraka, dan setan yang jahat dibelenggu. Pada bulan
itu Allah memiliki satu malam yang lebih baik dari seribu bulan, barangsiapa
yang terhalang dari kebaikannya berarti ia betul-betul telah terhalang dari
kebaikan”. [Sunan An-Nasa'i: Sahih]
Lihat juga: Buku tentang "PUASA" - Puasa 'Asyuraa' - Keutamaan puasa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar anda adalah pelajaran berharga bagi saya ...