بسم الله الرحمن الرحيم
Assalamu'alaikum wa rahmatullahi wabarakaatuh!
Ketika Imam Al-Bukahriy, Ibnu Abi Hatim, atau ulama Jarh wa
Ta’dil lainnya rahimahumullah menyebutkan biografi seorang rawi hadits namun
mereka tidak menyebutkan pujian (ta'diil) atau celaan (jarh) padanya, bagaimana
derajat hadits yang mereka riwayatkan?
Apakah mereka dihukumi tsiqah, karena seandainya mereka punya
cacat maka para ulama tidak mungkin mendiamkannya!?
Atau mereka masuk kategori majhuul (tidak diketahui),
karena tidak didapati satupun pujian atau celaan padanya!?
Ulama berselisih pendapat dalam masalah ini, dan kesimpulan
yang mereka pegangi menjadi salah satu sebab perselisihan mereka dalam
men-shahih-kan atau me-lemah-kan suatu hadits.
Berikut beberapa pendapat ulama dan referensi yang membahas
masalah ini:
1.
DR. Mahmud Ath-Thahan, dalam kitabnya “Ushuul At-Takhriij
wa diraasah Al-Asaaniid" halaman 155.
Beliau berpendapat bahwa diamnya Imam Bukhariy atas seorang rawiy menunjukkan bahwa ia tsiqah.
2.
Syekh Ali bin Nayif Asy-Syahuud, dalam bukunya “Al-Hafidz Ibnu Hajar
wa Manhajuhu fii Taqriib At-Tahdziib”.
Beliau menghukumi hadits mereka hasan selama tidak ada yang menghukuminya mungkar.
Dalam tulisannya beliau memaparkan pendapat ulama beserta
contoh-contoh yang menguatkan pendapat ini, dan membantah pendapat yang
menghukumi mereka majhuul.
3.
Syekh Muhammad Khalaf Salamah, dalam kitabnya “Lisaan
Al-Muhadditsiin”.
Download kitab: لسان المحدثين
4.
DR. Akram Dhiyaa’ Al-Umariy, dalam kitabnya “Buhuts fii Tarikh
As-Sunnah Al-Musyarrafah” halaman 138.
Beliau bependapat bahwa tidak boleh menghukumi mereka tsiqah secara mutlak, yang terbaik adalah sikap Ibnu Hajar yang menghukumi mereka sebagai mastuur (semakna dengan majhuul haal).
5.
Syekh Abdul Karim Al-Khudhair, beliau memilih tawaqquf sampai ada
yg memujinya.
6.
Syekh Abdullah bin Yusuf Al-Judai', dalam kitabnya “Tahriir Ulum
Al-Hadits”.
Beliau memilih agar meneliti ulang hadits-hadits mereka, dengan mengikuti beberapa langkah berikut:
a. Mengumpulkan semua hadits yang diriwayatkannya.
b. Meneliti kondisi hadits-hadits yang diriwayatkannya,
apakah sama seperti yang diriwayatkan oleh perawi tsiqah lainnya ataukah
menyelisihi, atau ia sendiri dalam meriwayatkan hadits tersebut.
c. Mempertimbangkan kemasyhurannya dengan melihat jumlah
murid yang telah menerima hadits darinya.
d. Mempertimbangkan kemasyhurannya dengan melihat riwayat yang
meyebut dirinya dalam sebuah kisah atau kejadian.
e. Ada yang memuji gurunya, yang mana gurunya tersebut tidak
diketahui kecuali melalui dirinya.
Download kitab: تحرير علوم الحديث
7.
Syaikh Abul-Hasan As-Sulaimaniy, beliau juga lebih condong untuk
menilainya majhuul untuk rawi yang didiamkan Ibnu Abi Hatim hingga didapati
tautsiq atau jarh.
Beliau berkata agar dilihat jumlah rawi yang meriwayatkan darinya hingga sampai jumlah yang menghilangkan jahaalatul-'ain nya hingga naik menjadi jahaalatul-haal. Jika tidak maka ia masih dalam jahaalatul-'ain. Dan meskipun terangkat jahaalatul-'ain nya, hal tersebut juga tidak melazimkan tautsiq hingga disebutkan tautsiq atau tajrih.
Pada awalnya, beliau menjelaskan bahwa hal tersebut dikarenakan pada muqaddimah Ibnu Abi Hatim, dikatakan bahwa jika beliau mendapati keterangan jarh atau ta'dil maka tentu beliau akan menyebutkannya.
Oleh karena itu :
[1]. Al-Hafizh Ibnu Katsir ketika menyebutkan Musa bin Jubair
al-Anshariy dimana beliau berkata bahwa Ibnu Abi Hatim tidak menyebutkan hadza wa
laa hadza [jarh/ta'dil] lalu beliau menegaskan bahwa rawi tersebut mastuur haal
di sisi Ibnu Abi Hatim.
[2]. Dalam Dzail Mizan al-I'tidal oleh al-'Iraqiy pada biografi
Mahdiy bin 'Isa al-Wasithiy disebutkan perkataan Ibnul-Qaththan bahwa Ibnu Abi
Hatim tidak menyebutkan jarh maupun ta'dil mengenainya yang berarti rawi tsb
majhuul haal di sisi Ibnu Abi Hatim.
[3]. Dalam Bayanul-Wahm, Ibnul-Qaththan lebih sharih mengatakan
bahwa yang demikian juga petanda majhul di sisi al-Bukhariy.
[4]. Syaikh al-Albaniy dalam Adh-Dha'ifah juga mengatakan bahwa
rawi yang tidak disebutkan jarh/ta'dil oleh Ibnu Abi Hatim kondisinya aqrab
[lebih dekat] kepada majhuul di sisi Ibnu Abi Hatim ketimbang tsiqah. Jika
tidak, tidak mungkin Ibnu Abi Hatim mendiamkannya. Yang menguatkan hal ini
dikarenakan perkataan Ibnu Abi Hatim sendiri dalam muqaddimahnya. Jadi tidak
mungkin Ibnu Abi Hatim mendiamkannya kecuali karena memang beliau tidak
mengetahui keadaan rawi tsb. Maka tidak bisa menjadikan diamnya Ibnu Abi Hatim
sebagai petanda tautsiq seperti pendapat beberapa muhaddits afadhil di zaman
kita. [Ini kata Syaikh]
Wallaahu A'lam.
8.
Syekh 'Adaab Mahmuud Al-Hamsy, dalam bukunya yang khusus membahas
masalah ini yang berjudul: “Ruwah Al-Hadiits Al-Ladziina Sakata ‘alaihim Aimmah
Al-Jarh wa At-Ta’diil Baina At-Tautsiiq wa At-Tajhiil”, sebanyak
255 halaman.
Di akhir pembahasan beliau menyebutkan beberapa kesimpulan, diantaranya: Tidak boleh menghukumi mereka secara mutlak bahwa mereka tsiqah, atau majhuul, atau mastuur. Akan tetapi masing-masing rawiy harus diteliti ulang sesuai kaidah ilmu hadits.
Kesimpulan:
Pendapat yang banyak adalah kembali meneliti lebih dalam kondisi setiap rawiy yang tidak ditemukan padanya ta’diil (pujian) atau tajriih (celaan) dari ulama yang diakui.
Wallahu ta’aalaa a’lam!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar anda adalah pelajaran berharga bagi saya ...